Tahun Baru Tanpa Hura-hura

detikcom - Jakarta, Di penghujung 2004, ujian dan cobaan buat Ibu Pertiwi makin berat. Bahkan, sangat berat. Gempa mengguncang dan gelombang tsunami menyapu Bumi Nanggroe Aceh Darussalam dan Sumatera Utara.

Sekitar 27 ribu jiwa melayang. Ratusan ribu orang kehilangan tempat tinggal dan harta benda. Ini musibah terbesar yang dialami Bangsa Indonesia sepanjang sejarah. Pemerintah menetapkan musibah ini sebagai bencana nasional.

Entah berapa banyak uang yang dibutuhkan untuk menangani para korban tewas dan juga para korban yang selamat. Entah berapa banyak uang untuk menghidupi kepada para ratusan ribu orang yang kini mengungsi. Entah berapa banyak rupiah yang diperlukan untuk memperbaiki infrastruktur dan memulihkan pemerintahan dan perekonomian di sana.

Juga waktu. Berapa lama waktu yang akan digunakan untuk memulihkan daerah-daerah yang terkena bencana itu. Sudah berwindu-windu daerah-daerah itu dibangun, namun kini habis dalam waktu sekejap.

Wajar saja, bila pemerintah menetapkan masa berkabung tiga hari. Malah rasanya terlalu singkat. Bila melihat penderitaan yang diderita para korban gempa dan tsunami dan melihat kerusakan Provinsi NAD, setuju-setuju saja masa berkabung itu diperpanjang sampai para pengungsi itu bisa merasakan hidup normal.

Ini jelas memang ujian bagi para korban dan juga pemerintah. Tapi, yang paling penting ini adalah ujian bagi warga Indonesia yang (kebetulan) masih selamat dari bencana alam itu. Solidaritas warga diuji. Seberapa besar kepedulian kita terhadap para korban, yang kini kehilangan anggota keluarganya dan kesulitan untuk mempertahankan hidupnya.

Terenyuhkah hati kita, saat mata kita melihat begitu banyak mayat manusia bergelimpangan di pinggir jalan? Ibakah kita ketika menyaksikan tumpahan air mata para korban yang kehilangan keluarga dan harta bendanya?

Jawaban manusia yang punya hati nurani, iya. Bahkan, kita tidak tega memakan makanan yang enak, sedangkan para pengungsi sudah tiga hari kerongkongan mereka tidak tersentuh air minum dan makanan.

Memang, ini adalah kekuasaan Tuhan. Betul, ini nasib bagi manusia-manusia yang menjadi korban. Benar, para korban harus tabah dan sabar menjalaninya. Tapi, sangat benar juga bila manusia yang selamat bisa membantu para korban, minimal hanya dengan doa dan menjaga sikap untuk tidak berhura-hura. Syukur-syukur kita semua terketuk hati dan tergerak menyalurkan bantuan-bantuan yang dibutuhkan.

Tidak salah bila Ebit G Ade menuliskan liriknya bahwa kita harus berbenah. Tidak hanya para korban, tapi juga orang-orang yang masih selamat dari amukan bencana itu. Dalam kasus ini, bayangkanlah bagaimana bila kita yang menjadi korban bencana dahsyat itu.

Berbagai imbauan sudah dilakukan. Sebaiknya peringatan Tahun Baru 2005 ini dilakukan tanpa hura-hura sebagaimana tahun-tahun lalu. Tidak ada pesta kembang api, tidak ada joget, tidak ada arak-arakan, tidak ada pesta di hotel-hotel. Bangsa Indonesia, terutama warga Aceh dan Sumatera Utara masih berduka. Alangkah lebih baik bila dananya disumbangkan kepada para korban yang sangat membutuhkan. Penderitaan yang mereka terima, seharusnya juga kita rasakan juga.

Memang, tentu ini sulit dilakukan, karena memang sebag(diks)

Comments

Popular posts from this blog

Karena Wanita Ingin Dimengerti

Buah Mengembalikan Urusan Kepada Allah dan Bersabar

jangan menjadi kacang lupa kulitnya