Menemani Rasulullah di Surga

Kekayaan sering kali menjebak orang berlomba mengejar kemegahan. Padahal, ada perlombaan yang lebih baik, menjanjikan keabadian. Berlomba menemani Rasulullah saw di surga. Caranya?

Rasulullah saw sangat mengagumi orang-orang Asy’ar di Yaman, tempat kelahiran sahabat mulia, Abu Musa al-Asy’ari. Mereka memiliki kebiasaan yang sungguh unik. Bila persediaan bahan makanan di sebuah kampung, misalnya, menipis, mereka mengumpulkan semua bahan makanan yang mereka miliki dalam satu kantung. Setelah itu, makanan tersebut mereka bagi rata kepada seluruh penduduk, dengan bagian yang sama, tanpa memandang kedudukan dan status kewargaannya.

Kiat unik orang-orang Asy’ar tidak hanya mencerminkan betapa tinggi tingkat kebersamaan penduduk Yaman itu, tapi juga menggambarkan betapa besar kepedulian mereka. Tak berlebihan kalau Rasulullah saw mencintai mereka, sehingga beliau bersabda, “Orang-orang Asy’ar adalah bagian dari saya, dan saya bagian dari mereka,” (HR Bukhari Muslim).

Saat ini, gambaran yang sangat dikagumi Rasulullah saw tersebut boleh jadi hanya terwujud dalam dunia cerita. Sebab, realita yang ada justru sebaliknya. Semakin lama dilanda krisis, tingkat kepedulian orang-orang kaya bukannya bertambah, tapi malah menipis. Fakir miskin dan anak-anak terlantar yang menjadi tontonan sehari-hari tidak membuat hati mereka tergugah. Tapi bahkan sebaliknya, mencegah dirinya dan orang lain untuk memberikan bantuan. Inilah yang dimaksudkan Allah sebagai para pendusta agama dalam firman-Nya, “Tahukah kamu orang yang mendustakan agama? Itulah orang yang menghardik anak yatim, dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin,” (QS al-Maa’uun: 1-3).

Mengomentari ayat tersebut, al-Dhahak dari Ibnu Abbas mengatakan, yang dimaksud dengan yadu’ul yatim (menghardik anak yatim) adalah menunda-nunda hak anak yatim dan tidak memberi mereka makanan padahal ia mampu. Sedangkan makna walaa yahudhu ‘ala tha’amil miskin, Imam Qurthubi dalam tafsirnya menjelaskan, ayat ini selain ditujukan kepada orang-orang kaya yang tidak mau memberi makan orang miskin, ditujukan juga kepada orang-orang yang tidak mampu dan tidak mencari solusi untuk membantu orang-orang miskin.

Kemiskinan dan segala penderitaan yang ada di depan mata, bukannya menyadarkan mata hati sebagian orang untuk memberi, tapi menyuburkan keserakahan mereka untuk merengkuh dunia dan segala isinya. Ketamakan itu tak akan berhenti sampai jasad mereka terbenam di dalam kubur. Persis seperti yang digambarkan Allah dalam al-Qur’an, “Bermegah-megahan telah melalaikan kamu, sampai kamu masuk ke dalam kubur,” (QS al-Takatsur).
Ibnu Abbas, seperti ditulis Imam Qurthubi dalam tafsirnya, menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan al-Takatsur adalah harta yang dikumpul dengan jalan tidak halal, dan mencegah orang lain untuk menguasainya serta menjadikannya milik pribadi untuk membanggakan diri di hadapan orang banyak.

Peduli kepada orang lain berarti peduli kepada diri sendiri. Bagaikan menanam biji. Siapa yang banyak menebar peduli, ia akan menuai kebaikan diri. Rasulullah saw bersabda, “Tidak beriman salah seorang di antara kalian, sehingga menyayangi saudaranya seperti ia menyayangi dirinya sendiri,” (HR Bukhari Muslim). Pengalaman Aisyah yang dituturkan Imam Malik dalam kitabnya, al-Muwatha’, sungguh indah untuk direnungi. Suatu ketika seorang miskin datang meminta-minta di depan rumah Aisyah. Saat itu Aisyah sedang berpuasa. Di rumahnya ia tidak mempunyai apa-apa kecuali sepotong roti yang ia persiapkan untuk berbuka. Aisyah menyuruh pembantunya untuk memberikan sepotong roti tersebut kepada si pengemis.
Apa yang terjadi pada sore harinya? Menjelang berbuka ia didatangi tamu yang memberikan seekor kambing guling yang siap untuk dimakan. Lengkap dengan segala bumbunya! Terbukti, dengan memberi tidak berarti orang kehilangan. Bahkan Allah menggantinya dengan yang lebih baik. Allah SWT berfirman, “Dan apa saja yang kamu nafkahnya, sesungguhnya Allah akan menggantinya,” (QS Saba’: 39).

Bahkan, beberapa ulama, di antaranya Ibnu Hazm berpendapat, peduli terhadap orang miskin bukan hanya menjadi kewajiban orang-orang kaya. Tapi, keharusan orang-orang miskin untuk meminta hak mereka dari orang-orang yang mampu. Dalam suatu perjalanan para sahabat Rasulullah saw kehabisan bekal, termasuk air minum. Sudah lama mereka didera kehausan, hingga sampai di suatu tempat yang ada sumurnya. Para sahabat meminta izin pemilik sumur itu agar diperkenankan mengambil air. Akan tetapi sang pemilik merasa keberatan. Menghadapi kenyataan itu para sahabat terbagi dua. Sebagian ingin meminta secara paksa, sedang yang lain mencoba bersabar. Kasus ini akhirnya sampai kepada Khalifah Umar bin Khaththab. Mendapatkan laporan itu, Umar berkata, “Kenapa tidak engkau hunuskan pedangmu di depan pemilik sumur itu?”

Kebinasaan suatu negeri turut ditentukan oleh ketaatan para aghniya’nya. Allah berfirman, “Dan jika Kami hendak membinasakan suatu negeri, maka Kami perintahkan kepada orang-orang yang hidup mewah di negeri itu (supaya menaati Allah), tetapi mereka mendurhakai Allah di negeri itu. Maka sudah sepantasnya berlaku terhadapnya perkataan (ketentuan Kami), kemudian Kami hancurkan negeri itu sehancur-hancurnya,” (QS al-Israa: 16). Dan, kemenangan suatu bangsa turut ditentukan oleh doa dan andil orang-orang miskin. Rasulullah saw bersabda, “Sesungguhnya kalian dimenangkan dan diberi rezeki lantaran orang-orang lemah di antara kalian,” (HR Bukhari dan Abu Daud).

Karenanya, sikap para aghniya’ yang akhir-akhir ini berlomba-lomba dalam kemegahan patut diwaspadai. Sebab, tidak mustahil itu merupakan cara Allah menghancurkan suatu negeri sehancur-hancurnya. Sebaliknya, mengapa kita tidak berpikir jernih? Anak yatim, orang-orang miskin yang terlantar senantiasa menanti uluran tangan saudaranya yang mampu.
Selain perlombaan dalam kemegahan, ada perlombaan yang jauh lebih baik dan mengekalkan. Yaitu, berlomba-lomba menemani Rasulullah saw di surga. Bukankah beliau sendiri pernah bersabda, ”Saya dan penyantun anak yatim di surga seperti ini (beliau mengangkat ibu jari dan jari tengah,” (HR Bukhari).

Hepi Andi

Comments

Popular posts from this blog

Dua Puluh Anak-Anak Palestina di Penjara Militer Israel Hidupnya Terancam

:: The assassination :: www.palestinehistory.com

:: The assassination :: www.palestinehistory.com