:: cerpen untuk munsyid :: MENJALIN PELANGI

(ga tau siapa yang nulis....)

“Kita nggak usah nasyidan lagi.”
Suara Hendri yang meninggi jelas terdengar di dalam musholla sekolah yang hening ini.
“Tapi Hen… Sabarlah Hen. Semua itu harus dibicarakan dengan baik. Nggak elok diturutkan emosi itu.” Dengan bijak Ridho mencoba menenangkan Hendri yang sedang diliputi amarah.
“Ana nggak suka kalo gara-gara nasyid, ukhuwah jadi retak. Udah habis kesabaran ana menghadapi Alvi.” Perkataan itu mengarah kepadaku.
DUG. Rasanya seperti ada yang memukul dadaku.
“Ana juga nggak habis pikir menghadapi antum, Hen.” Balasku. “Antum aneh. Sok perfeksionis. Padahal antum sendiri suaranya nggak bagus-bagus amat. Keberadaan antum nggak terlalu penting di tim nasyid kita ini.”
“APA?”
Mendengar aku berucap seperti itu, kemarahan Hendri semakin menjadi. Sejurus kemudian ia mencengkram bajuku dan aku balas mencengkram bajunya. Mata kami beradu. Terlihat olehku air mukanya benar-benar menunjukkan kemarahan. Keadaan semakin tegang. Untung saja kawan-kawan cepat memisahkan kami dan memperingatkan kami untuk beristighfar.
Lalu tiba-tiba Hendri dengan muka yang merah dan tangannya yang mengepal tinju, bangkit dan kemudian keluar dari musholla sekolah tempat kami berkumpul saat ini. Ia sempat memukul pintu musholla dengan keras. DUGG.
Suasana hening kembali. Tinggal aku dan beberapa orang temanku. Sementara Ridho telah keluar menyusul Hendri. Mungkin mencoba mendinginkan hati Hendri yang mendidih akibat kejadian tadi. Aku hanya bisa terpekur.
Kurebahkan badanku di karpet hijau musholla. Ku tatap pelapon masjid yang dicat kuning. Asri warnanya. Menyejukkan hati yang kalut.
Aku benar-benar tak mengerti keinginan Hendri. Ia selalu menginginkan agar setiap penampilan kami tak memiliki cacat sedikitpun. Namun itu tak mungkin. Namanya kesalahan hampir selalu ada di setiap penampilan kami. Termasuk saat kami tampil di Masjid Al-Munawaroh pada acara Isra’ Mi’raj.
Saat itu persiapan kami hanya tiga hari. Kami nekad saja. Bahkan lagu yang kami bawakan adalah lagu baru yang belum pernah digarap dalam latihan.
Hendri sendiri oke-oke saja. Tak ada kekakhawatiran sebelumnya kalau kami bakal gagal karena menggarap lagu yang baru dengan persiapan hanya tiga hari.
Beberapa saat menjelang tampil, kami latihan terlebih dahulu. Ada ruang atas masjid yang gunanya sebagai ruang pertemuan yang bisa kami pakai untuk latihan. Kami sempat latihan di sana dengan hasil yang meyakinkan.
Persoalannya adalah aku sering grogi dalam kebanyakan penampilan. Termasuk malam itu. Sehingga suaraku yang menempati suara tenor di tim nasyidku, sering sumbang.
Saat itu lagu Senandung Benteng Keadilan milik Izzatul Islam dibawakan sebagai lagu pembuka. Peserta acaranya kebanyakan remaja, sehingga pas kalau dibawakan lagu yang membakar. Suara Anto yang lantang penuh power memenuhi ruangan utama masjid. Kemudian Ridho mengisi bariton, Heri sebagai Bass, Hendri menemani Anto sebagai vocal, dan aku mengisi suara tenor. Pada saat suaraku mulai masuk itulah aku grogi sehingga fales jadinya. Tapi alhamdulillah sesaat kemudian aku mulai bisa menemukan nada yang pas. Rupanya hal itu sangat mengganggu bagi Hendri.
Pada lagu Mujahid Muda alhamdulillah tidak ada kesalahan yang kulakukan. Namun yang parah adalah pada saat kami membawakan lagu yang baru kami garap. Lagu itu berjudul Wahn yang terdapat dalam album Perjalanan Cahaya milik Nuansa. Karena lagu itu baru kami garap dan langsung ditampilkan, tentu saja penyakit grogiku kumat. Kakiku gemetaran, dan suaraku sering sumbang. Ah, malam itu penampilan kami yang terburuk memang.
Kemarahan Hendri saat ini sebenarnya tidak mengarah kepadaku saja. Tapi juga kepada Anto. Hendri marah karena ekspresi Anto terlalu kaku dalam membawakan lagu-lagu yang semangat. Namun kemarahan Hendri lebih besar kepadaku karena aku berani melawan kata-katanya. Darah sumateranya menggelegak saat ku balas kata-katanya tadi. Aku yang juga memiliki darah sumatera tak rela diperlakukan seperti terdakwa.
Sebenarnya biasa saja tanggapan penonton. Hanya saja Hendri terlalu perfeksionis sehingga dia mencak-mencak siang ini pada acara evaluasi penampilan.
Begitulah. Kini suasana menegang antara kami. Suhu tim nasyid ini terlalu panas. Gerah. Memang sebaiknya kami tak perlu lagi nasyidan.
*****
“Alvi, antum masih kesal sama Hendri?” Tanya Ridho saat aku sedang mengantri untuk mengambil air wudhu hendak sholat zuhur. Tangannya menggelayuti pundakku.
“Mmm… gimana ya Dho. Masih kayaknya.”
“Masya Allah. Padahal dia kan mengharap agar kita damai kembali.”
Aku tersenyum mendengarnya. Aku tahu kalau ini cuma bisa-bisanya Ridho agar aku mau berdamai dengan Hendri. Ucapan Ridho itu kuyakini bohong.
“Masa sih Dho? Ah antum bo’ong aja kan.”
“Yaa… ana punya keyakinan di hatinya ada keinginan damai. Walau pun ana belum tanyain langsung ke beliau.”
“Ya sudah. Kalau dia ingin damai, kenapa dia tidak langsung minta maaf ke ana dan Anto.”
“Apa antum nggak punya keinginan untuk damai?”
“Punya sih kalo dia yang minta maaf duluan.”
“Masya Allah Alvi.” Ridho geleng-geleng kepala. Begitulah, aku dan Hendri memang orang keras.
“Tapi di hati ana Dho, ana nggak suka kalau ana ini jadi orang yang pendendam.” Lanjutku.
“Nah, lalu?”
“Masalahnya antum tidak merasakan Dho. Kalau antum merasakan, mungkin antum sependapat dengan sikap ana.”
Rasanya kali ini aku berbohong. Karena setahuku, Ridho orang yang paling penyabar di antara kami. Sudah sering kesabarannya teruji pada banyak persoalan. Begitu kagumnya aku dengan Ridho.
“Tapi apa kita harus mengkufuri nikmat Allah?”
“Nikmat Allah yang mana Dho?”
“Nikmat ukhuwah. Bukankah Dia sudah menganugerahkan nikmat yang abadi itu kepada kita sebagai kekuatan bagi kita. Kalau kita mengkufurinya, maka kita akan melemah.”
Aku terdiam. Tak pernah terpikir olehku bahwa saling diamnya aku dengan Hendri selama beberapa hari ini adalah sebuah bentuk kufur nikmat. Keinginan berdamai sebenarnya ada padaku. Dan kuyakini begitu pula pada Hendri. Hanya saja gengsi yang besar telah menghalangi kami untuk kembali mereguk nikmat ukhuwah yang selama ini telah terjalin.
Pembicaraanku dengan Ridho terhenti karena kini giliran aku berwudhu. Orang terakhir yang ada di depanku telah selesai berwudhu. Aku melangkah ke depan keran lalu membukanya dan merasakan nikmatnya air yang mengalir membasahi mukaku.
*****
Jum’at ini acara kajian mingguan seperti biasa diadakan setelah sholat Jum’at. Namun karena tadi murid dipulangkan lebih cepat dari biasanya, peserta kajian mingguannya hanya sedikit. Kelas satu putranya yang datang hanya sepuluh orang.
“Dho, hari ini kajiannya seperti biasa apa nggak?” Tanya Rahmat yang di Rohis menjabat sebagai Koordiantor Departemen Kaderisasi. Kami para pengurus Rohis berunding.
“Alumni udah ada yang datang belum?” Tanya Ridho balik.
“Itu dia Dho. Kemarin para Alumni pada nelpon ana. Katanya hari ini mereka ada demo. Jadi kita yang disuruh ngisi.”
“Waduh, kakak-kakak kelas tiga nggak ada ya?”
“Nggak ada juga Dho. Mereka kan pada les sekarang.”
“Wah jadi kita isi apa ya. Kalo disuruh ngisi materi, ana belum siap nih.”
“Ngobrol-ngobrol aja deh dengan mereka. Kumpulin aja mereka jadi satu. Terus biarkan mereka ngeluarin uneg-unegnya yang ada pada kita.” Ini usulku.
“Ya sudah deh.”
Setelah anak-anak dikumpulkan, Ridho menjelaskan pada mereka bahwa para alumni tidak bisa hadir saat ini. Kebetulan peserta kajian hanya sedikit yang datang. Dan dikatakan pula bahwa acara saat ini ialah dialog, mengeluarkan uneg-uneg yang ada.
Namun rupanya ada yang menolak usulku. Diluar dugaan mereka minta diperkenalkan dengan nasyid.
Kami gembira. Sama sekali tak menyangka bahwa mereka mulai berangsur mengganti seleranya. Dan hari itu pun acara diisi dengan perkenalan tentang nasyid yang diselingi penampilan tim nasyid kami. Kebetulan personel nasyid kami lengkap. Sambutan mereka hangat. Selanjutnya mereka minta di bentuk tim nasyid untuk kelas satu. Masing-masing kami bertakbir dalam hati.
Acara selesai. Semua anak kelas satu sudah pulang. Tinggallah kami mendiskusikan acara tadi.
“Ana nggak nyangka ya. Rupanya semangat mereka besar juga.” Ridho memulai pembicaraan.
“Iya Dho. Mereka juga ada potensi. Suara mereka bagus-bagus.” Kali ini aku menukas.
“Dan mereka juga kompak. Ada potensi plus kompak, wah bisa jadi tim nasyid yang solid tuh.” Ridho lagi.
“Iya, nggak kayak kita, mudah ribut kalo latihan. Selesai tampil juga sering ribut. Jarang damainya. Kita cuma ada bakat suara doang, tapi nggak kompak. Berarti hebatan mereka ya dari kita.” Heri si pengisi suara bass ini memang suka ceplas ceplos.
Tiba-tiba bulu kudukku merinding. Rupanya adik kami lebih baik dari kami sendiri. Mereka kompak, sedangkan kami sering cek-cok. Apalagi belakangan ini aku memiliki konflik yang tajam dengan Hendri. Sekilas aku mencuri pandang wajah Hendri. Tak kuduga rupanya ia pun sedang menatap aku. Yang lain menyaksikan juga kami beradu pandang.
Suasana kemudian hening.
“Yah… rupanya mereka lebih baik dari kita. Mereka bisa kompak walau mereka belum mengerti tentang ukhuwah lebih dalam.” Hendri memecah kebisuan. “Kita sering ribut. Masalah sepele saja bahkan bisa meretakkan ukhuwah. Benar kata Ridho, kita mudah sekali mengkufuri nikmat.
Dan mulai saat ini, ana janji untuk tidak meretakkan ukhuwah di antara kita lagi. Ana minta maaf kepada antum semua, khususnya kepada Alvi.”
“Ana juga Hen, ana minta maaf. Ana memperturuti gengsi sehingga ana tidak mengakui kesalahan ana.” Aku tertunduk mengucapkan kata itu.
Aku menyambut tangan Hendri yang diulurkannya lebih dulu padaku. Lalu kami berangkulan. Sedangkan tangis ini hampir meledak.
Tak lama Hendri pun menghampiri Anto. Ia meminta maaf telah sering menyakiti hati Anto dalam setiap latihan, meski Anto hanya diam saat kata-kata pedas, Hendri keluar. Mereka berangkulan. Dan dari sudut mata Hendri mulai terlihat setetes air sebening kristal mengalir.
“Akhi sekalian, sifat kita memang beda. Namun perbedaan sifat itu seharusnya tidak menjadi pemecah bagi kita. Kita memiliki warna yang berbeda satu sama lain. Namun seharusnya perbedaan warna itu membentuk pelangi yang menghiasi langit biru. Perbedaan warna itu menjadi indah karena terjalin dengan baik. Bukan begitu akhi?” Ridho mentaujih kami. Begitu bijaknya.
Kami mengangguk tanpa berujar sepatah pun.
“Mungkin kita bisa saling bermaafan saat ini. Momen ini paling tepat untuk menghilangkan ghil yang tersisa.” Ridho melanjuti.
Kemudian kami berpelukan bergantian. Menumpahkan tangis yang mengalir menghanyutkan dendam yang mengotori hati.
Pada masing-masing kami, telah terikrar janji untuk menjalin pelangi dengan warna-warna kami yang berbeda. Pelangi yang terjalin di langit biru, yang menyenangkan siapa pun yang melihat. Pelangi yang tak hanya terjalin di dunia ini, namun juga terjalin di langit akhirat nanti. Pelangi yang kekal abadi. Insya Allah.

Comments

Popular posts from this blog

Karena Wanita Ingin Dimengerti

Buah Mengembalikan Urusan Kepada Allah dan Bersabar

jangan menjadi kacang lupa kulitnya