Terbaik dari yang Terbaik .....

oleh : Denny Hermawan (Mhs Jurusan Informatika STT Telkom)

***

Suatu ketika, ada seorang bernama Zaki(bukan nama sebenarnya). Ia seorang mahasiswa teknik semester 4 disebuah perguruan tinggi swasta di Bandung. Di mata teman-temannya ia termasuk yang disegani. Selain cakap dalam pergaulan, ia pun cukup lincah dalam berorganisasi. Dan mengenai urusan akademik, termasuk yang lumayan. Namun satu hal yang masih menjadi ganjalan dihatinya, ia termasuk orang yang labil. Disaat ia melihat salah seorang temannya mempunyai kelebihan di suatu bidang, ia ingin ikut menguasainya, bahkan menyaingi dan melebihinya. Ia merasa kemampuan yang dimilikinya selama ini menjadi tidak berarti di matanya. Ia selalu berfikir bahwa jika orang lain bisa, maka ia harus selalu bisa juga. Maka ia pun akan melakukan minimal hal yang serupa dengan orang yang dianggap ‘lebih’ tersebut. Dan hal inilah yang membuatnya merasa asing terhadap dirinya sendiri, ia lelah akan jiwanya yang selalu meminta, ia seakan hidup dalam suasana ke”topeng”an, hidup dengan tidak sebenar-benar dirinya. Tidak seperti apa yang teman-temannya bayangkan mengenainya, the expert man.

***



Sahabat, percikan cerita diatas sedikit menggambarkan bagaimana keinginan seorang manusia yang ingin menjadikan hidupnya selalu menjadi lebih baik. Tapi tentunya tidak mudah untuk menjadi orang yang paling baik, sebab ukuran yang dipakai adalah orang lain. Dan ini sangatlah subyektif, tergantung pada kesanggupan serta kemampuan setiap orang. Pada cerita diatas, tergambarkan bagaimana seorang Zaki yang dalam proses memperbaiki dirinya, selalu mengacu pada orang lain. Tapi apakah harus selamanya?
Betapa sering dalam kehidupan ini (kampus) kita melihat banyak orang yang sukses, minimal lebih dari kita. Dan tanpa tersadar, betapa sering rasa iri dengki dan cemburu berkobar dijiwa ini. Padahal, saat-saat seperti itulah yang menjadi moment sekaligus ujian. Pada saat itu sedang terjadi suatu suasana persaingan (yang sehat tentunya), dan kita dituntut untuk memberikan yang terbaik yang dimiliki. Kita seharusnya terpacu untuk berada pada kualitas terbaik yang dimiliki, dengan dukungan ikhtiar dan tawakal yang penuh tentunya. Namun apabila hasil akhir yang didapat tetap tidak dapat melebihi orang lain, bukan berarti kita telah kalah. Justru itu adalah sebuah kemenangan : Mampu meraih sukses paling tinggi dalam batas kemampuan dan kesanggupan diri sendiri.

Itulah mengapa Rasulullah menilai orang beruntung bukan ketika seseorang diperbandingkan dengan orang lain, melainkan dengan dengan dirinya sendiri pada waktu yang laluItulah mengapa Rasulullah menilai orang beruntung bukan ketika seseorang diperbandingkan dengan orang lain, melainkan dengan dengan dirinya sendiri pada waktu yang lalu. Dalam sabdanya, “Siapa yang hari ini lebih buruk dari hari kemarin, ia menjadi orang yang celaka. Siapa yang hari ini sama dengan hari kemarin, ia menjadi orang yang merugi. Dan siapa yang hari ini lebih baik dari hari kemarin, maka ia menjadi orang yang beruntung. ”
Jadi hadits ini mengajak kita berorientasi pada perubahan kearah yang lebih baik pada setiap individu. Ia harus dapat dengan tepat dan cermat dalam memanfaatkan waktunya. Peningkatan itu sendiri harus terjadi pada berbagai segi, antara lain: iman, ilmu dan amal. Peningkatan iman (rukhiyyah) dapat dilakukan dengan selalu melakukan tazkiyatun-nafs (pensucian jiwa). Salah satu contoh yang dapat kita lakukan ialah dengan selalu melakukan intropeksi diri. Merenungi kegiatan serta dosa dan kebaikan apa saja yang telah kita lakukan. Menilai kelebihan dan kekurangan diri, baik secara mandiri ataupun bersama.

Peningkatan ilmu (fikriyyah) justru tidak kalah pentingnya. Sebagai mahasiswa Teknik, ilmu yang tersedia tidak sedikit tentunya. Begitu luasnya ilmu Allah yang perlu kita gali lalu pahami. Lalu, tidak tertantangkah kita untuk mewujudkan Bill Gates atau Linus Torvald made in Islami?

Terakhir, konsekuensi dari suatu perbuatan pastilah ada, dan itu terletak pada bentuk Amal (jasadiyyah). Hal ini jangan selalu dipandang sebagai kegiatan yang berbentuk ritual. Berbagi ilmu, mengem-bangkan pengetahuan yang dimiliki untuk kepentingan ummat merupakan salah satu dan dua dari aplikasinya. Simpelnya, kalau selama ini kita bangga akan bendera Open Sourcenya Linux, lalu mengapa tidak sekalian saja pelakunya yang open source juga. Hitung-hitung menambah ladang amal khan?

Nah, sahabat. Itulah esensi kemenangan individu dalam pandangan islam. Tidak harus selalu dibandingkan dengan orang lain. Oleh karena itu, biarlah orang lain menjadi juara 1,2 ataupun 3. Tapi kitalah yang menjadi juara umumnya, juara dalam memanage dan mengop-timalkan diri sendiri sesuai kapasitas. Dan Hadiahnya? Adalah ampunan dan rahmat Allah yang tiada terhingga serta sorga yang luasnya seluas langit dan bumi. “Dan bersegeralah kalian untuk mendapatkan ampunan dan dari tuhan kalian dan sorga yang luasnya seluas langit dan bumi.”(Ali-Imran:133)

Jadi, masing-masing dari kita ternyata bisa dan mempunyai peluang untuk menjadi pemenang. Dan karena itu pula setiap kita dapat menjadi pribadi yang unggul, Terbaik dari yang Terbaik. Wallahu a’lam bisawab. []den


*: Ide tulisan diilhami oleh karya Tate Qomaruddin, “Menjadi Muslim Pemenang”, Majalah Saksi edisi Jan’02, Dengan perubahan seperlunya.

Comments

Popular posts from this blog

Karena Wanita Ingin Dimengerti

Buah Mengembalikan Urusan Kepada Allah dan Bersabar

jangan menjadi kacang lupa kulitnya